suara gemuruh mendekat. Suasana menjadi gelap pekat. Udara panas
menyengat. ”Saya mulai ketakutan,” kisah Turut. Remaja ini pun tak kuasa
bertahan. Dia tinggalkan para pemain gamelan yang lain. ”Saya lari
bersembunyi di ceruk sempit di belakang pura sambil menutup mata.”
Dia tak ingat lagi dengan rekan-rekannya. Yang ada dalam benaknya
hanyalah bagaimana menyelamatkan diri. Ceruk batu yang menghadap ke
selatan, membelakangi Gunung Agung, itu melindunginya dari empasan
langsung awan panas. Namun, tetap saja tangan dan sebagian mukanya
melepuh.
”Sekitar 30 menit suasana gelap. Gemuruh terus terdengar. Setelah
itu, suasana kembali terang, tapi sepi,” kata Turut. Sunyi mencekam. Tak
ada lagi bunyi gamelan. Bahkan, tak terdengar suara apa pun. Dia keluar
dari lubang persembunyian dan menyaksikan teman-temannya tewas
bergelimpangan.
Ia berjalan tertatih meninggalkan pura. Panas di wajahnya tak
terperikan. Kakinya melepuh, menginjak tanah berselimut kerikil membara.
Jejak luka bakar itu masih terlihat hingga kini. Saat itu, dia mengira
seluruh keluarga dan rekannya telah tewas. Turut putus asa dan nyaris
bunuh diri. Dia berjalan tanpa arah sambil mencari-cari senjata tajam.
Saat itulah, ia melihat Drasni, gadis muda tetangganya yang baru saja
menikah, menusukkan pisau ke leher. Drasni bunuh diri melihat suaminya,
Itawa, mati diterjang awan panas. ”Drasni sempat berjalan sekitar 500
meter sebelum tersungkur dan mati,” ujar Turut.
Melihat cara Drasni mati, Turut mengurungkan niatnya bunuh diri. Dia
meneruskan perjalanan menuju Sekeluwih, menjauhi aliran awan panas. Di
sana, ia bertemu ayah dan ibunya.
Dari 25 penabuh gamelan di Sogra, hanya delapan orang, termasuk
dirinya, yang selamat. Mereka yang selamat itu ternyata lari lebih dulu
menuju Sekeluwih sesaat sebelum awan panas menerjang. Hanya Turut yang
masih selamat walaupun bertahan di dalam pura.
Jero Mangku Wayan Ginda termasuk yang selamat karena berlari sesaat
sebelum awan panas menerjang. ”Bapak saya waktu itu juga di pura bersama
Pak Mangku Turut,” ujar Mangku Gde Umbara, Bendesa Adat Desa Sebudi,
anak Wayan Ginda. ”Menjelang kejadian, bapak keluar dari pura dan
berlari ke rumah menyelamatkan saya,” kisah Umbara, yang waktu itu
berumur 3 bulan.
Wayan Ginda meninggal beberapa tahun lalu. ”Bapak saya keluar dari
pura begitu melihat gumpalan awan turun dengan cepat,” ujar Umbara.
Sementara Ketut Sudana selamat dari awan panas karena kebetulan. Pagi
itu, dia mendapat giliran memasak. Dia pulang ke rumah untuk menyiapkan
makanan bagi lebih kurang 100 warga yang khusyuk berdoa dan menabuh
gamelan di Pura Badeg Dukuh.
Saat terdengar suara gemuruh, Sudana masih duduk di depan tungku
masak. Dia menggigil dan tidak kuasa beranjak. Lututnya bergetar keras
seperti dinding rumahnya.
Suara gamelan dan doa-doa dari arah pura di belakang rumahnya semakin
tenggelam oleh bunyi gemuruh dan letusan yang mendekat. Sudana juga
mulai mendengar bunyi gemeretak di atas atapnya. Hujan kerikil telah
mengguyur.
Ketut Sudana segera tersadar. Ia mengambil nare, nampan bambu, untuk
melindungi kepala. Ia membuka pintu dan pandangannya menatap gelap. Ia
mengikuti nalurinya, berlari memasuki kebun-kebun warga, menjauh dari
puncak Gunung Agung. Nasi sela (ketela rambat rebus) yang sudah matang
ditinggalkannya.
Nare yang dibawa sangat berjasa melindungi kepalanya dari hujan
kerikil sebesar kacang tanah hingga kepalan tangan orang dewasa. Namun,
telapak kakinya melepuh disengat panas kerikil yang berjatuhan di tanah.
Dalam pelarian, ia bertemu warga lain. Ia terus berlari turun, diiringi
ratapan tangis ibu-ibu serta anak-anak. Sudana membantu semampunya.
”Saya berlari selama dua jam hingga mencapai Rendang,” ujar Sudana.
Sudana mengungsi di Rendang hingga 15 hari kemudian. Ketika pulang ke
Badeg Dukuh, ia mendapati 100-an rekannya tewas di dalam pura. Umat
Hindu usai sembahyang di Pura Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem,
Bali, Kamis (6/10/2011). Pura terbesar di Bali yang mengalami
perkembangan sejak masa pra-hindu, ini berorientasi ke Gunung Agung yang
dianggap sebagai tempat tinggal para dewata.
AWAN panas sudah mendekat, tetapi warga Sogra dan Badeg Dukuh di
lereng selatan Gunung Agung tak mau beranjak. Mereka bertahan di pura.
Dengan memanjatkan doa-doa sambil menabuh gamelan, mereka berharap
dewa-dewa gunung akan melindungi. Semakin dekat awan panas itu, semakin
keras tabuhan gamelan.
Badeg Dukuh dan Sogra, Minggu pagi, 17 Maret 1963. Di dua dusun yang
dipisahkan oleh Tukad (sungai) Lengu dan hanya berjarak 4 kilometer dari
puncak Gunung Agung itu, bunyi gamelan terdengar bersahutan. ”Kami
sudah tiga hari berdoa di dalam pura,”Ketut Sudana (73), warga Badeg
Dukuh, berkisah. ”Kami percaya akan dilindungi”
Mangku Turut (63), yang saat itu masih remaja, juga berdoa di dalam
pura. Warga Sogra ini kebagian peran memainkan alat musik ceng-ceng
dalam ritual yang telah digelar sejak beberapa hari sebelumnya di pura.
”Setiap malam, kami berdoa sambil memainkan gamelan hingga pagi hari.
Kami berdoa semoga Gunung Agung tidak meletus. Kalaupun meletus, tidak
akan menimpa kampung kami,” kata Turut.
Bagi warga Sogra dan Badeg Dukuh, Gunung Agung dipercaya tak akan
membawa petaka. Walaupun sempat mengungsi pada awal letusan, mereka
segera kembali. ”Kami tidak mendengar cerita bahwa Gunung Agung pernah
meletus dan membawa bencana,” kata Turut.
Sejak kecil, Turut diajarkan bahwa petaka gunung api disebabkan
kurangnya doa dan persembahan. ”Selama kami masih melakukan upacara,
tidak akan terjadi bencana,” ujarnya.
Keyakinan itu sedemikian kuat dipegang warga Badeg Dukuh dan Sogra
sehingga saat Gunung Agung mulai menggeliat, mereka tak bergegas pergi.
Setelah 120 tahun tertidur, Gunung Agung bangun pada 16 Febuari 1963.
Djajadi Hadikusumo (1963) dari Direktorat Geologi, Bandung, mencatat,
pada 18 Febuari sekitar pukul 23.00, warga Tianyar di lereng utara
Gunung Agung untuk pertama kali mendengar suara gemuruh dari dalam bumi.
Esok harinya, sekitar pukul 03.30, asap terlihat keluar dari kawah
Gunung Agung. Letusan kemudian terdengar pada pukul 05.50, disusul
lontaran kerikil dan batu serta embusan awan panas.
Saat letusan pertama ini, sebagian warga Sogra yang terkejut sempat
mengungsi ke Desa Selat sebelum pindah ke kota Karangasem. Hanya semalam
di Karangasem, mereka kembali lagi ke Sogra. ”Sam – pai di kampung,
banyak rumah ambruk, tidak kuat menahan abu tebal dan kerikil,” kata
Mangku Turut mengenang.
Warga segera membersihkan abu dan memperbaiki rumah yang rusak. Gempa
masih saja berlangsung, demikian pula bunyi gemuruh dan hujan abu.
Namun, mereka menganggapnya biasa. ”Wa r g a terus bekerja dan malamnya
berdoa di pura,” ujar Turut.
Namun, letusan pada pertengahan Febuari 1963 itu ternyata baru awal
dari sebuah paroksimal (letusan besar) yang tengah disiapkan Gunung
Agung.
Pagi itu, tanda-tanda datangnya letusan besar telah dikabarkan. Bunyi
gemuruh dan getaran gempa semakin kerap terjadi dan terasa semakin
dekat. Anjing berlarian dari lereng atas gunung dengan ekor terbakar.
Sebagian warga mulai mengungsi. ”Namun, kami tetap bertahan di dalam
pura,” kata Turut.
Pertanda yang kasatmata itu tidak menggoyahkan keyakinan sebagian
warga Sogra dan Badeg Dukuh untuk bertahan. Mereka semakin khusyuk
berdoa dan gamelan ditabuh keras- keras.
Kepala Badeg Dukuh Mangku Kadek Raja sebagai pemangku adat sebenarnya
menyadari, bahaya telah dekat. Karena itulah, ia menyuruh anak-anaknya
pergi meninggalkan dukuh, mengungsi ke desa di bawah.
Namun, dia sendiri tak mau pergi. Dia memegang teguh prinsip
hidup-mati bersama Gunung Agung. ”Ia sampai bertengkar dengan saudaranya
kerena tidak mau diajak meninggalkan pura,” ungkap Sudana. Sekitar 100
orang lainnya memilih bertahan di pura bersama sang pemimpin.
Like this:
Be the first to like this post.