Senin, 21 Mei 2012

Berita Terkini Mengenai Keadaan Gunung Merapi di Indonesia

Gunung Merapi kembali meletus, Jumat 5 November 2010 dini hari tadi. Letusan ini lebih dahsyat dari letusan pertama Selasa 26 Oktober 2010 lalu. Senasib dengan Kinahrejo, sebagian dusun di Desa Argomulyo, Cangkringan, Sleman hangus diterjang awan panas 'wedhus gembel'. Ini luar biasa, sebab, jarak desa itu dari puncak Merapi sekitar 15 kilometer.'

Argomulyo yang biasanya dikategorikan aman, justru jadi lokasi terparah. Korban tewas kebanyakan berasal dari sana. Saksi mata, Hermanto menduga, korban akan bertambah. Sebab, diduga masih ada warga yang terjebak di sana. Diceritakan Hermanto, saat letusan terjadi, belum semua warga Argomulyo dievakuasi.

"Saat itu, masih ada warga yang sedang dievakuasi, ada juga yang di dalam rumah. Sementara yang lainnya ronda," kata dia ditemui di RS Sardjito, Yogyakarta, Jumat 5 November 2010.

Kasi pelayanan umum Kecamatan Cangkringan ini mengatakan, saat kejadian, dentuman keras tiba-tiba terdengar. Awan panas lalu meluncur dengan cepat.

"Warga sama sekali tak menyangka, karena posisi Argomulyo relatif di bawah," tambah dia. Namun, lokasi Argomulyo dekat dengan tepian Sungai Gendol. "Sungai Gendol adalah aliran awan panas," kata dia. Ditambahkan Hermanto, evakuasi yang dilakukan kembali tadi pagi menemui kendala. "Sekitar pukul 06.00 awan panas meluncur lagi,"

Dihubungi terpisah, Komandan lapangan tim SAR Merapi, Suseno mengatakan, saat ini pihaknya masih melakukan penyisiran di lokasi terkena awan panas. Kata dia, yang terparah justru wilayah yang lebih bawah di tepian Sungai Gendol. "Untuk warga yang di atas lereng sudah dievakuasi,"

Saat ini pihaknya masih melakukan penyisiran. "Saya belum bisa menggambarkan seperti apa situasi di sini, tapi yang jelas, kami prioritaskan mengevakuasi korban yang selamat,"

Sabtu, 05 Mei 2012

Informasi Mengenai Seputar Bencana Alam di Indonesia

Dilarang Naik Mobil atau Motor Bila Ada Tsunami

Apa yang pertama kali harus dilakukan warga sekitar pantai jika gempa berpotensi tsunami datang? Jangan ragu-ragu, larilah secepat mungkin ke arah jalur evakuasi atau tempat perlindungan (shelter) yang aman. Namun, jangan sekali-kali menggunakan kendaraan bermotor.
“Semuanya larilah langsung ke arah shelter dan tidak boleh pakai kendaraan (bermotor),” kata Deputi Bidang Geofisika Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Prih Harjadi, kepada Tempo, Kamis, 12 April 2012.
Sayangnya, kata Prih, masyarakat sering kali mengungsi menjauhi pantai dengan menggunakan kendaraan bermotor, terutama sepeda motor. Padahal, yang ditakutkan adalah menumpuknya kendaraan bermotor di satu tempat tertentu saat evakuasi. “Masih ada kecenderungan kalau terjadi tsunami masyarakat mengungsi (dengan kendaraan bermotor),” kata dia.
Selain dilarang menggunakan kendaraan bermotor, Prih juga mengingatkan warga lebih mementingkan keselamatan dirinya saat terjadi gempa berpotensi tsunami. Bukan berarti mereka harus melupakan keluarga yang saat kejadian berada di tempat yang berbeda. Namun, setiap orang yang sudah memperoleh pengetahuan wajib memiliki kesadaran tersebut untuk meminimalisir korban jiwa.
Ia mengatakan ada orang yang mencari anaknya dulu di sekolah. Seharusnya itu tidak boleh dilakukan karena ketika orang itu sampai di sekolah sang anak juga sudah pergi. “Pendidikan di sekolah, kalau ada kejadian seperti itu, gurunya yang harus memimpin anak didiknya untuk evakuasi,” ujarnya.
Berkaitan dengan evakuasi gempa berkekuatan 8,5 skala Ritcher yang menggoyang Aceh, Rabu, 11 April 2012, Prih mengakui penanganan memang belum maksimal. Ditambah lagi informasi mengenai potensi tsunami sangat telat karena sirine peringatan tsunami tak berbunyi saat gempa terjadi.
“Nanti kami tanyakan ke Pemda apakah mereka tidak merespons atau petugas yang dulunya sudah dilatih sudah dipindahtugaskan atau malah lari duluan,” kata dia.

Gempa Hebat Skala 6 Ritcher Guncang Banten dan Jakarta Selama 20 Detik

Gempa berkekuatan 6,0 Skala Richter terjadi di Pandeglang, Provinsi Banten, pada Minggu, pukul 02.26 WIB. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika gempa berpusat di 95 kilometer barat daya Pandeglang pada kedalaman 10 kilometer. Getaran gempa juga dirasakan oleh masyarakat di Jakarta dan sekitarnya.
Gempa Cilegon itu terasa hingga Jakarta bahkan Sukabumi. “Saya merasakan gempa cukup kencang dan membuat panik saya,” kata Reni S warga Kecamatan Cidahu, Kabupaten Sukabumi. Informasi BMKG gempa yang terjadi pada 02.26 WIB berpusat di 7.17 lintang selatan-105.13 bujur timur di kedalaman 10 Km tidak berpotensi tsunami.
Sementara, Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Sukabumi, belum menerima adanya laporan pada peristiwa gempa tersebut namun pihaknya bersiaga mengantisipasi adanya gempa susulan yang menyebabkan kerusakan.
Belum ada laporan kerusakan dari pihak manapun baik dari satuan pelaksana penanggulangan becana daerah di setiap kecamatan dan warga,” kata Kepala Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan Bencana BPBD Kabupaten Sukabumi, Irwan Fajar.
Gempa bumi berkekuatan 6.0 SR sempat mengguncang wilayah Banten dan sekitarnya pada Minggu (15/4/2012) pukul 2.26 WIB.
Gempa yang berpusat di 95 km Barat Daya Pandeglang, Banten ini dirasakan di beberapa kota lain, seperti Jakarta dan Depok. Bahkan, beberapa pengguna Twitter yang berada di Bogor melaporkan merasakan gempa yang berpusat di sekitar Selat Sunda tersebut. Di Jakarta, guncangannya terasa cukup kuat selama kurang lebih 20 detik.
Menurut laporan Tribun News, kepanikan sempat terjadi di kantor Kompas TV di Palmerah, Jakarta. Sejumlah karyawannya berhamburan keluar ketika gempa terjadi. Seperti dilansir BMKG, titik pusat gempa ini berjarak 216 km dari kota Jakarta.

Aceh Dilanda Gempa Besar 8.9 Skala Ritcher Peringatan Tsunami Dikeluarkan India dan Tim SAR Indonesia Siaga

Warga kepulauan Nias ikut merasakan gempa yang menghantam wilayah Sumatera Utara, Aceh. Bahkan sebelum gempa berkekuatan 8,5 skala richter itu terjadi, warga Nias merasakan gempa awalan sebelum akhirnya gempa besar menyusul dalam beberapa menit kemudian. “Di sini gempa juga dirasakan di Nias. Warga berlarian ke luar,” ujar Iyun warga Kepuluan Nias Rabu (11/4/2012). Menurut Iyun, sebelum gempa besar, warga pertama kali mendapatkan gempa kecil dan pada gempa kedua yang hanya berselang beberapa menit, dirasakan sangat besar goyangannya.
“Beberapa warga bahkan masih duduk di jalanan untuk berjaga-jaga jika ada gempa susulan,” terangnya. Bahkan untuk menjaga kemungkinan yang terburuk, beberapa warga kemudian telah memasukkan beberapa barang berharganya ke dalam tas. “Sudah dimasukkan ke dalam tas semuanya jadi tinggal dibawa jika ada gempa besar,” kata Iyun.
Gempa bumi berkekuatan 8,5 Skala Richter (SR) yang melanda Aceh dan sekitarnya juga terasa hingga ke sebagian wilayah Singapura, Thailand dan India. Warga-warga di negara-negara tersebut ikut panik dan berhamburan keluar rumah. Seperti dilansir oleh Reuters, Rabu (11/4/2012), gempa ini dirasakan oleh warga yang berada di Bangkok, Thailand. Warga yang panik pun berhamburan ke jalanan.
Gempa yang sangat kuat juga terasa di wilayah India bagian selatan. Ratusan pekerja di wilayah Bangalore, India, bahkan terpaksa harus meninggalkan gedung masing-masing. Sedangkan menurut Twitter, gempa ini juga dirasakan di wilayah Singapura dan Malaysia. Bahkan dilaporkan bangunan apartemen dan gedung perkantoran di wilayah pantai barat Malaysia berguncang selama 1 menit. Menurut Pusat Peringatan Tsunami Wilayah Pasifik di Hawaii, gempa ini berpotensi tsunami. Diperkirakan tsunami akan berdampak di wilayah Indonesia, India, Sri Lanka, Australia, Myanmar, Thailand, Kepulauan Maldives, wilayah Samudera Hindia lainnya, Malaysia, Pakistan, Somalia, Oman, Iran, Bangladesh, Kenya, Afrika Selatan dan Singapura.
Pasca gempa 8,5 skala richter (SR) di Aceh dan Sumatera Utara saat ini membuat pembangkit listrik di wilayah tersebut mati otomatis. Ini mengakibatkan pemadaman listrik. Direktur Utama PT PLN (Persero) Nur Pamudji menyatakan, pembangkit listrik PLN di Medan mati otomatis akibat getaran gempa yang terlalu kuat. “Jadi memang ada wilayah yang harus kami padamkan karena pembangkit kami di Medan mati otomatis akibat guncangan gempa. Sebagian konsumen kita padamkan dulu,” jelas Nur Rabu (11/4/2012). Pemadaman listrik, ujar Nur, terjadi hampir di seluruh wilayah Sumatera Utara karena guncangan gempa sangat kuat. “Jadi pembangkit mati otomatis karena alat pengaman bekerja. Akan kita periksa dulu untuk dicek apakah sudah bisa dinyalakan kembali,” jelas Nur.
Otoritas Malaysia juga mengeluarkan peringatan tsunami menyusul gempa bumi berkekuatan 8,5 SR yang mengguncang Aceh. Penduduk di sepanjang pantai barat Malaysia diserukan untuk mengungsi ke tempat yang lebih aman. “Kami telah mengumumkan peringatan tsunami di sepanjang pantai barat semenanjung Malaysia. Kami telah memerintahkan evakuasi segera untuk warga di sepanjang pantai negara-negara bagian Perlis, Kedah, Langkawi, Penang dan Perak,” kata seorang pejabat Departemen Meteorologi Malaysia kepada kantor berita AFP, Rabu (11/4/2012).
Sebelumnya, otoritas India, Sri Lanka dan Thailand juga telah mengeluarkan peringatan tsunami menyusul gempa 8,5 SR di Simeuleu, Aceh yang terjadi pada pukul 15.38 WIB. Peringatan tsunami di Thailand bahkan telah diperluas untuk 6 provinsi dari sebelumnya 2 provinsi saja. Sementara pusat manajemen bencana Sri Lanka telah menyerukan penduduk pantai untuk bergerak ke daerah-daerah yang lebih tinggi. Ini sebagai pencegahan jika terjadi gelombang tsunami.
Disebutkan bahwa gelombang tsunami bisa menjangkau wilayah pantai timur Sri Lanka dalam waktu dekat. Otoritas Sri Lanka pun menyerukan evakuasi warga dari jalur-jalur pantai. “Ada kemungkinan kuat tsunami menghantam pulau ini setelah gempa bumi di Indonesia,” kata wakil direktur Departemen Meteorologi Sri Lanka M. D. Dayananda kepada AFP.
Masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam berbondong-bondong menuju perbukitan menyusul gempa berkekuatan 8,5 skala richter. Jalan macet dan suara azan bergema. “Listrik padam, jalan macet menuju tanah yang tinggi,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho Rabu (11/4/2012). Menurut dia, suara sirine meraung-raung dan suara azan berkumandang. Saat dihubungi terpisah, Kabag Humas Basarnas Gagah Prakoso mengatakan jajarannya siaga diterjunkan ke lokasi bencana. “Kita telah siap dan siaga. Data kerusakan dan korban masih dihimpun,” ujar Gagah.
Gempa kembali terjadi di Aceh sebesar 8,1 SR. Gempa itu dirasakan kencang seperti yang pertama. “Terasa barusan. Yang pertama sekitar jam 4-an sore, sekarang barusan beberapa detik. Kencangnya seperti yang awal,” jelas petugas keamanan Pelabuhan Belawan Khairul, yang dihubungi Rabu (11/4/2012) pukul 17.50 WIB. Namun kondisi Pelabuhan Belawan, imbuhnya, normal. Pelabuhan Belawan terletak di pantai timur Sumatera, dekat selat Malaka.
Meulaboh, Aceh bersiaga menyusul gempa susulan besar. Petugas kepolisian dan SAR bersiaga di pinggir pantai.”Informasi yang saya dapat, air lau kadang naik selutut kadang turun, ini tidak wajar,” kata Kapolres Aceh Barat AKBP Artanto saat dikonfirmasi Rabu (11/4/2012) pukul 17.50 WIB. Artanto menjelaskan, penduduk di pinggir pantai sudah diungsikan ke tempat yang lebih tinggi. “Jalur evakuasi sudah disiapkan,” jelasnya. Sejauh ini kondisi di Meulaboh masih kondusif. Belum ada laporan soal korban jiwa dan kerusakan. Petugas tetap bersiaga.”Petugas masih bersiaga,” jelasnya.

Peringatan Tsunami Aceh Berakhir Setelah Dilanda Gempa Besar Berkekuatan 7,1 Ritcher

Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa peringatan bahaya tsunami telah berakhir pascagempa berkekuatan 7,1 skala Richter (sebelumnya BMKG menyebut 7,6 SR) yang terjadi di wilayah Simelue, Aceh, Rabu (11/1/2012) pukul 01.36 WIB.
Seperti diberitakan, gempa terjadi di koordinat 2,32 LU 92,82 BT. Pusat gempa berada di kedalaman 10 kilometer. BMKG menyebut gempa berpotensi tsunami di wilayah Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, dan Lampung.
Akibat guncangan gempa tersebut, warga di pesisir pantai Banda Aceh berhamburan ke luar rumah. Mereka memperoleh informasi dari media televisi dan radio.
Dengan berakhirnya peringatan bahaya tsunami tersebut, warga diharapkan bisa kembali ke rumah. Paskagempa di Aceh berkekuatan 7,1 SR, Rabu, 11 Januari 2012, dinihari tadi, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan, belum menemukan korban jiwa.
“Sampai jam 4 pagi di kota Banda Aceh dan sekitarnya akibat gempa tadi belum kami temukan ada korban jiwa dan infrastruktur. Demikian juga berdasarkan info dari SAR di kawasan barat selatan, belum ada laporan korban jiwa,” ungkap Jubir BNPB, Sutopo Purwo Nugroho, di Jakarta.
Ditegaskannya, posko Pusdalops BNPB masih terus memantau kondisi di lapangan akibat gempa tersebut.
Sebagaimana diketahui, Rabu dini hari tadi terjadi gempa dengan Pusat Gempa 2.32 LU – 92.82 BT (419 km BaratDaya Meulaboh – Aceh), kedalaman 10 km.
BMKG sempat mengeluarkan release gempa tersebut berpotensi tsunami. Namun peringatan itu telah dicabut, karena ternyata tsunami tidak terjadi.
Sutopo menjelaskan bahwa gempa dirasakan cukup keras oleh warga di Kota Banda Aceh dan sekitarnya.
“Warga pesisir Aceh merasakan adanya angin kencang dan getaran gempa cukup keras. Gempa juga dirasakan di Simeuleu, belum ada kepanikan warga yang cukup berarti.”
“Gempa tidak dirasakan di daerah Kota Padang, Sumbar. Tidak terjadi Tsunami di daerah Sumbar. BPBD Sumbar masih terus memantau Perkembangan di sekitar lokasi pesisir pantai,” jelasnya

Hujan Deras Melanda Indonesia Karena Terkena Ekor Badai Tropis Dari Pasific

Indonesia bukan merupakan daerah lintasan badai tropis. Pada musim hujan, badai tropis hanya terbentuk di Samudra Hindia, di selatan Indonesia atau utara Australia. Wilayah Nusantara hanya akan terkena dampak tidak langsung atau imbas dari ”ekor” badai tropis berupa angin kencang di Samudra Hindia.
Hal ini disampaikan Kukuh Ribudiyanto, Kepala Subbidang Cuaca Ekstrem Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG); serta Fachri Rajab, Koordinator Pusat Sistem Peringatan Badai Tropis (Tropical Cyclone Warning Center) menanggapi berita yang beredar di kalangan pengguna telepon genggam bahwa wilayah Jakarta akan diterjang badai Katrina yang pernah terjadi di Florida, Amerika Serikat, dan menelan banyak korban.
Menurut Kukuh, memasuki puncak musim hujan bulan Januari ini, angin kencang dan gelombang laut yang tinggi memang akan terjadi ketika muncul badai tropis di selatan Indonesia. Berdasarkan pola normalnya pada Januari ini, akan terbentuk dua badai tropis di wilayah tersebut. Namun, Kukuh memastikan, jika nanti terbentuk badai tropis, dampaknya bagi Indonesia tidak akan sehebat badai Katrina di Amerika Serikat.
Fachri juga menegaskan, badai tropis tidak mungkin masuk ke Indonesia karena lokasinya di lintang rendah atau di bawah 10 derajat. Badai tropis hanya terbentuk dan melewati lintang di atas 10 derajat. ”Jadi, tidak benar kalau dikatakan akan ada badai tropis sekuat Katrina yang akan masuk ke Indonesia,” ujarnya.
Pada musim hujan, badai tropis terbentuk di Samudra Hindia, di selatan Indonesia atau utara Australia. Sementara pada musim kemarau, badai tropis terbentuk di perairan selatan Filipina atau utara Indonesia. Pembentukan badai di dua kawasan tersebut terkait dengan garis edar matahari. Saat ini peredaran matahari di selatan Indonesia.
Lebih lanjut Fachri menjelaskan, saat ini adalah musim badai tropis di belahan bumi selatan. Pola umum gerakannya pun menjauhi Indonesia. Sejak November 2011 hingga Sabtu (7/1/2012) tercatat terbentuk tiga badai tropis di Samudra Hindia bagian tenggara atau Australia. Jumlah rata-rata dalam satu musim, yaitu sejak November hingga April, sebanyak delapan siklon tropis.
Wilayah Nusantara hanya akan terkena dampak tidak langsung atau imbas dari ”ekor” badai tropis berupa angin kencang di Samudra Hindia.
Puting beliung lokal
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho yang juga kandidat profesor riset bidang hidrologi di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi memberikan keterangan senada. ”Yang terjadi di Jakarta adalah puting beliung saja yang sifatnya lokal,” kata Sutopo.
Wilayah Jakarta dan sebagian besar di Indonesia, menurut Sutopo, tak akan pernah dilalui badai tropis. Jakarta hanya mungkin terkena imbasnya, seperti pada banjir Jakarta tahun 2002 dan 2007, yaitu terjadi hujan terus- menerus selama 3-5 hari dengan intensitas tinggi. Hujan itu dipengaruhi badai tropis dan tekanan rendah di sebelah barat daya Pulau Jawa yang berada di Samudra Hindia.
Jabodetabek lebih aman
Berdasarkan peringatan dini yang dikeluarkan BMKG, hingga Sabtu, wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) hanya berpotensi diguyur hujan berintensitas sedang hingga lebat disertai petir dan angin kencang berdurasi singkat pada tiga hari mendatang.
Prakirawan BMKG, Sunardi, memprediksi, kondisi itu lebih aman dibandingkan saat Jakarta diobrak-abrik hujan angin, 5 Januari lalu. Saat itu, pohon-pohon tumbang dan papan-papan reklame roboh. Yadi Supyadi (28), kenek mobil boks angkutan barang konfeksi, bahkan tewas tersengat kabel listrik bertegangan tinggi yang putus akibat kejatuhan papan reklame yang tumbang diterpa hujan dan angin di Jalan Arjuna Selatan, Jakarta Barat. Kini, korban telah dibawa untuk dimakamkan di kampung halaman di Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
Sunardi memperingatkan warga agar tidak berada di dekat pohon, papan reklame, atau bangunan yang dirasa rawan saat turun hujan

Kisah Korban Letusan Gunung Agung

suara gemuruh mendekat. Suasana menjadi gelap pekat. Udara panas menyengat. ”Saya mulai ketakutan,” kisah Turut. Remaja ini pun tak kuasa bertahan. Dia tinggalkan para pemain gamelan yang lain. ”Saya lari bersembunyi di ceruk sempit di belakang pura sambil menutup mata.”
Dia tak ingat lagi dengan rekan-rekannya. Yang ada dalam benaknya hanyalah bagaimana menyelamatkan diri. Ceruk batu yang menghadap ke selatan, membelakangi Gunung Agung, itu melindunginya dari empasan langsung awan panas. Namun, tetap saja tangan dan sebagian mukanya melepuh.
”Sekitar 30 menit suasana gelap. Gemuruh terus terdengar. Setelah itu, suasana kembali terang, tapi sepi,” kata Turut. Sunyi mencekam. Tak ada lagi bunyi gamelan. Bahkan, tak terdengar suara apa pun. Dia keluar dari lubang persembunyian dan menyaksikan teman-temannya tewas bergelimpangan.
Ia berjalan tertatih meninggalkan pura. Panas di wajahnya tak terperikan. Kakinya melepuh, menginjak tanah berselimut kerikil membara. Jejak luka bakar itu masih terlihat hingga kini. Saat itu, dia mengira seluruh keluarga dan rekannya telah tewas. Turut putus asa dan nyaris bunuh diri. Dia berjalan tanpa arah sambil mencari-cari senjata tajam.
Saat itulah, ia melihat Drasni, gadis muda tetangganya yang baru saja menikah, menusukkan pisau ke leher. Drasni bunuh diri melihat suaminya, Itawa, mati diterjang awan panas. ”Drasni sempat berjalan sekitar 500 meter sebelum tersungkur dan mati,” ujar Turut.
Melihat cara Drasni mati, Turut mengurungkan niatnya bunuh diri. Dia meneruskan perjalanan menuju Sekeluwih, menjauhi aliran awan panas. Di sana, ia bertemu ayah dan ibunya.
Dari 25 penabuh gamelan di Sogra, hanya delapan orang, termasuk dirinya, yang selamat. Mereka yang selamat itu ternyata lari lebih dulu menuju Sekeluwih sesaat sebelum awan panas menerjang. Hanya Turut yang masih selamat walaupun bertahan di dalam pura.
Jero Mangku Wayan Ginda termasuk yang selamat karena berlari sesaat sebelum awan panas menerjang. ”Bapak saya waktu itu juga di pura bersama Pak Mangku Turut,” ujar Mangku Gde Umbara, Bendesa Adat Desa Sebudi, anak Wayan Ginda. ”Menjelang kejadian, bapak keluar dari pura dan berlari ke rumah menyelamatkan saya,” kisah Umbara, yang waktu itu berumur 3 bulan.
Wayan Ginda meninggal beberapa tahun lalu. ”Bapak saya keluar dari pura begitu melihat gumpalan awan turun dengan cepat,” ujar Umbara.
Sementara Ketut Sudana selamat dari awan panas karena kebetulan. Pagi itu, dia mendapat giliran memasak. Dia pulang ke rumah untuk menyiapkan makanan bagi lebih kurang 100 warga yang khusyuk berdoa dan menabuh gamelan di Pura Badeg Dukuh.
Saat terdengar suara gemuruh, Sudana masih duduk di depan tungku masak. Dia menggigil dan tidak kuasa beranjak. Lututnya bergetar keras seperti dinding rumahnya.
Suara gamelan dan doa-doa dari arah pura di belakang rumahnya semakin tenggelam oleh bunyi gemuruh dan letusan yang mendekat. Sudana juga mulai mendengar bunyi gemeretak di atas atapnya. Hujan kerikil telah mengguyur.
Ketut Sudana segera tersadar. Ia mengambil nare, nampan bambu, untuk melindungi kepala. Ia membuka pintu dan pandangannya menatap gelap. Ia mengikuti nalurinya, berlari memasuki kebun-kebun warga, menjauh dari puncak Gunung Agung. Nasi sela (ketela rambat rebus) yang sudah matang ditinggalkannya.
Nare yang dibawa sangat berjasa melindungi kepalanya dari hujan kerikil sebesar kacang tanah hingga kepalan tangan orang dewasa. Namun, telapak kakinya melepuh disengat panas kerikil yang berjatuhan di tanah. Dalam pelarian, ia bertemu warga lain. Ia terus berlari turun, diiringi ratapan tangis ibu-ibu serta anak-anak. Sudana membantu semampunya. ”Saya berlari selama dua jam hingga mencapai Rendang,” ujar Sudana.
Sudana mengungsi di Rendang hingga 15 hari kemudian. Ketika pulang ke Badeg Dukuh, ia mendapati 100-an rekannya tewas di dalam pura. Umat Hindu usai sembahyang di Pura Besakih, Kecamatan Rendang, Karangasem, Bali, Kamis (6/10/2011). Pura terbesar di Bali yang mengalami perkembangan sejak masa pra-hindu, ini berorientasi ke Gunung Agung yang dianggap sebagai tempat tinggal para dewata.
AWAN panas sudah mendekat, tetapi warga Sogra dan Badeg Dukuh di lereng selatan Gunung Agung tak mau beranjak. Mereka bertahan di pura. Dengan memanjatkan doa-doa sambil menabuh gamelan, mereka berharap dewa-dewa gunung akan melindungi. Semakin dekat awan panas itu, semakin keras tabuhan gamelan.
Badeg Dukuh dan Sogra, Minggu pagi, 17 Maret 1963. Di dua dusun yang dipisahkan oleh Tukad (sungai) Lengu dan hanya berjarak 4 kilometer dari puncak Gunung Agung itu, bunyi gamelan terdengar bersahutan. ”Kami sudah tiga hari berdoa di dalam pura,”Ketut Sudana (73), warga Badeg Dukuh, berkisah. ”Kami percaya akan dilindungi”
Mangku Turut (63), yang saat itu masih remaja, juga berdoa di dalam pura. Warga Sogra ini kebagian peran memainkan alat musik ceng-ceng dalam ritual yang telah digelar sejak beberapa hari sebelumnya di pura. ”Setiap malam, kami berdoa sambil memainkan gamelan hingga pagi hari. Kami berdoa semoga Gunung Agung tidak meletus. Kalaupun meletus, tidak akan menimpa kampung kami,” kata Turut.
Bagi warga Sogra dan Badeg Dukuh, Gunung Agung dipercaya tak akan membawa petaka. Walaupun sempat mengungsi pada awal letusan, mereka segera kembali. ”Kami tidak mendengar cerita bahwa Gunung Agung pernah meletus dan membawa bencana,” kata Turut.
Sejak kecil, Turut diajarkan bahwa petaka gunung api disebabkan kurangnya doa dan persembahan. ”Selama kami masih melakukan upacara, tidak akan terjadi bencana,” ujarnya.
Keyakinan itu sedemikian kuat dipegang warga Badeg Dukuh dan Sogra sehingga saat Gunung Agung mulai menggeliat, mereka tak bergegas pergi.
Setelah 120 tahun tertidur, Gunung Agung bangun pada 16 Febuari 1963. Djajadi Hadikusumo (1963) dari Direktorat Geologi, Bandung, mencatat, pada 18 Febuari sekitar pukul 23.00, warga Tianyar di lereng utara Gunung Agung untuk pertama kali mendengar suara gemuruh dari dalam bumi. Esok harinya, sekitar pukul 03.30, asap terlihat keluar dari kawah Gunung Agung. Letusan kemudian terdengar pada pukul 05.50, disusul lontaran kerikil dan batu serta embusan awan panas.
Saat letusan pertama ini, sebagian warga Sogra yang terkejut sempat mengungsi ke Desa Selat sebelum pindah ke kota Karangasem. Hanya semalam di Karangasem, mereka kembali lagi ke Sogra. ”Sam – pai di kampung, banyak rumah ambruk, tidak kuat menahan abu tebal dan kerikil,” kata Mangku Turut mengenang.
Warga segera membersihkan abu dan memperbaiki rumah yang rusak. Gempa masih saja berlangsung, demikian pula bunyi gemuruh dan hujan abu. Namun, mereka menganggapnya biasa. ”Wa r g a terus bekerja dan malamnya berdoa di pura,” ujar Turut.
Namun, letusan pada pertengahan Febuari 1963 itu ternyata baru awal dari sebuah paroksimal (letusan besar) yang tengah disiapkan Gunung Agung.
Pagi itu, tanda-tanda datangnya letusan besar telah dikabarkan. Bunyi gemuruh dan getaran gempa semakin kerap terjadi dan terasa semakin dekat. Anjing berlarian dari lereng atas gunung dengan ekor terbakar. Sebagian warga mulai mengungsi. ”Namun, kami tetap bertahan di dalam pura,” kata Turut.
Pertanda yang kasatmata itu tidak menggoyahkan keyakinan sebagian warga Sogra dan Badeg Dukuh untuk bertahan. Mereka semakin khusyuk berdoa dan gamelan ditabuh keras- keras.
Kepala Badeg Dukuh Mangku Kadek Raja sebagai pemangku adat sebenarnya menyadari, bahaya telah dekat. Karena itulah, ia menyuruh anak-anaknya pergi meninggalkan dukuh, mengungsi ke desa di bawah.
Namun, dia sendiri tak mau pergi. Dia memegang teguh prinsip hidup-mati bersama Gunung Agung. ”Ia sampai bertengkar dengan saudaranya kerena tidak mau diajak meninggalkan pura,” ungkap Sudana. Sekitar 100 orang lainnya memilih bertahan di pura bersama sang pemimpin.

Kisah Wati Gadis Yang Hilang Waktu Tsunami Aceh Dan Diadopsi Untuk Dijadikan Pengemis Dimuat Oleh Koran Guardian Inggris

Pertemuan kembali seorang gadis yang hanyut ketika peristiwa tsunami di Aceh, 26 Desember 2004, dengan orang tuanya menjadi berita di media Inggris, The Guardian, Jumat.
Menurut laporan The Guardian, gadis yang bernama Wati (15) itu bercerita bahwa dirinya mulai menangis setelah melacak orang tuanya, dan akhirnya merasa kehilangan harapan untuk bisa bertemu dengan mereka kembali.
Wati, yang tiba-tiba muncul di sebuah kafe di Meulaboh, Provinsi Aceh, Indonesia, awal pekan ini, mengatakan tidak lama setelah gelombang menghantam, dirinya ditemukan dan “diadopsi” oleh seorang wanita yang memaksanya untuk mengemis di jalanan hingga larut malam dan kadang sampai pukul 01.00 dini hari.
Jika tidak membawa uang, Wati lalu ditendang oleh wanita itu. Dia kemudian bertekad untuk mencari keluarganya, tetapi informasi yang sangat sedikit membuatnya kesulitan mencari kedua orang tuanya. Apalagi dia hanya tahu nama kakeknya bernama Ibrahim.
Seseorang di kafe lantas melacak seorang pria dengan nama itu. Setelah bertemu dengan Wati, pria bernama Ibrahim itu yakin kalau itu adalah cucunya.
“Ketika saya melihat ibu saya, saya tahu itu dia. Aku hanya tahu itu,” kata Wati pada hari Jumat, yang diberi nama oleh wanita yang menemukannya dan nama aslinya adalah Meri Yuranda.
Bencana tsunami yang melanda Samudra Hindia pada tanggal 26 Desember 2004 itu menewaskan 230.000 orang di beberapa negara dan Aceh khususnya yang rusak parah karena dekat dengan pusat gempa yang berkekuatan 9.1 itu.
Karena puluhan ribu orang dinyatakan hilang, maka banyak orang yang masih berharap untuk bisa menemukan orang yang dicintai yang hilang. Mereka sering memasang brosur atau menempatkan iklan di surat kabar. Reuni, bagaimanapun, sangat langka, dan ketika mereka terjadi, jarang dikonfirmasi.
Ibu Wati, Yusniar binti Ibrahim Nur (35), mengatakan bahwa dirinya tidak perlu tes DNA untuk membuktikan gadis itu anaknya. “Dia memiliki wajah ayahnya,” katanya menegaskan.
Ia menambahkan bahwa dirinya tidak percaya akan bertemu putrinya lagi. “Saya melihat bekas luka di atas mata dan tahi lalat di pinggulnya yang membuat saya yakin bahwa Wati adalah anak saya,” kata Yusniar menandaskan.
Gadis itu mengatakan bahwa dirinya ingat ayahnya meletakkannya ke dalam sebuah perahu dengan adiknya yang hingga sekarang belum ditemukan dan diperkirakan meninggal. Sang ayah mengatakan bahwa sebelum keluarga itu dipisahkan, dia meletakkan kedua putrinya di atap rumah mereka.
Meri Yulanda alias Wati (15) korban tsunami yang baru pulang ke rumah orang tuanya di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, akan menceritakan kisahnya kepada Metro TV di Jakarta, Senin esok (26/12).
Yusniar, ibu Wati di Meulaboh, Minggu mengatakan, putri keduanya itu bersama wartawan Metro TV telah berangkat ke Jakarta untuk menjadi narasumber dalam topik mengenang tujuh tahun tsunami Aceh.
“Kata mereka juga nanti sampai ke Jakarta akan dilakukan cek DNA untuk memastikan kalau dia itu benar anak kami agar tidak muncul kemudian pertanyaan di publik,” kata Yusniar di rumah orang tuanya Lr Sangkis Kelurahan Ujong Baroh, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat.
Suaminya Tarmiyunus dan mertuanya Ibrahim diikutsertakan mendampinggi anak mereka yang baru ditemukan
Rabu (21/12) setelah menghilang tujuh tahun sejak musibah gempa dan tsunami melanda Aceh.
Meskipun berat hati melepas keberangkatan selama tiga hari anaknya yang baru ditemukan itu, namun demi terbukanya kisah sedih Wati selama tujuh tahun menghilan, dia tidak keberatan demi diketahui publik.
Melalui fasilitasi TV swasta tersebut, keluarga Yuniar berharap mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah pusat dan daerah dalam menghidupi keluarganya ke depan.
“Kami inikan orang miskin, kalau anak saya cuma dibawa dan dipertontonkan kepada publik saya rasa sama sekali tidak ada untungnya, kalau dia sehat nanti akan kami gunakan dana itu untuk pendidikannya,” imbuhnya.
Dia mengatakan, selama tujuh tahun menghilang Meri Yulanda sedikitpun tidak mendapat pendidikan, bahkan ia diperas sebagai peminta-minta di jalanan oleh ibu angkatnya Fatimahsyam di Kota Banda Aceh.
Sesampainya di Jakarta, Meri dijanjikan menjalani tes DNA untuk memastikan gadis berambut cepak dan berkulit hitam manis itu adalah anaknya.
Padahal tanpa tes DNA pun seluruh keluarga sudah memastikan bahwa gadis belia itu benar anak keduanya karena memiliki ciri-ciri sama saat dia masih berusia delapan tahun, selain si gadis masih mengenal sebagian silsilah keluarga sendiri.
“Katanya juga nanti Meri akan dites DNA, kami tidak keberatan karena dia memang anak saya bersama Bang Yus, tapi demi kebaikan silakan saja tapi kalau diminta uang kami nggak punya,” pungkasnya

Akibat Penyedotan Air Sumur Besar-Besaran, Jakarta Alami Krisis Air Tanah dan Penurunan Permukaan Tanah

Krisis air tanah di DKI Jakarta akibat penyedotan besar-besaran oleh gedung-gedung pencakar langit, industri, dan kebutuhan rumah tangga lainnya sudah sangat mengkhawatirkan. Jika ini terus dibiarkan maka berbagai bencana kemanusiaan akan silih berganti dialami masyarakat.
“Sejak 20 tahun lalu sebenarnya air tanah di DKI Jakarta sudah tidak mampu lagi menyokong kebutuhan masyarakat,” kata Kelapa Bidang Teknologi Pengendalian Pencemaran Lingkungan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Dr. Arie Herlambang dalam Diskusi Pengelolaan Sumber Daya Air bertema ‘Kelola Air Selamatkan Bumi’ yang dilaksanakan Mapiptek.
Hal ini terlihat pada saat musim kemarau dimana banyak warganya yang berteriak kekeringan kendati kemarau tidak terlalu panjang. Terutama bagi mereka yang selama ini masih mengandalkan pemenuhan kebutuhan airnya dari air tanah.
Dampak lain akibat penyedotan air tanah secara besar-besaran itu adalah adanya penurunan permukaan tanah yang membawa berbagai dampak ikutan. Contohnya, Jalan Thamrin yang dulu tidak pernah banjir saat ini genangannya bisa mencapai satu meter saat terjadi hujan lebat.
Selain akibat drainase yang buruk, setidaknya penurunan permukaan tanah di lokasi tersebut akibat penyedotan air oleh gedung-gedung pencakar langit juga memiliki kontribusi yang tidak sedikit. Karena itu perlu ada langkah nyata untuk menanggulanginya.
Contoh lain yang tidak boleh dianggap main-main adalah adanya penurunan permukaan jalan tol menuju Bandara Soekarno Hatta yang melebihi satu meter. Akibatnya pada saat terjadi hujan lebat jalan ini tidak bisa dilalui kendaraan kecil dan besar.
“Dari segi ekonomi penurunan permukaan tanah di kedua lokasi tersebut menimbulkan kerugian yang tidak sedikit,” katanya.
Ada sejumlah langkah yang direkomendasikan Arie agar hal itu tidak terus berlangsung. Misalnya, dengan mengurangi penyedotan air tanah secara besar-besaran, bahkan kalau perlu menyetopnya.
Kemudian langkah lainnya dengan mendorong kesadaran masyarakat membangun penampungan-penampungan air hujan atau sumur resapan. Langkah ini diperlukan agar pori-pori tanah bisa terisi air kembali dan permukaan air tanah bisa naik.
Sedangkan bagi pemilik gedung pencakar langit bisa memanfaatkan teknologi daur ulang sehingga tidak banyak air yang terbuang sia-sia. Gedung-gedung di Singapura telah menerapkan teknologi ini sehingga mampu memenuhi 35 persen kebutuhannya sendiri.

Menelusuri Jejak Kapal Perang Belanda Berouw Yang Hanyut Oleh Tsunami Krakatau Di Sungai Kuripan

Dua besi hitam berkarat dengan tuas panjang teronggok di tepi kolam ikan di belakang rumah Suwardi (61), warga Kampung Brau, Teluk Betung, Lampung. Berkali-kali datang pemburu besi tua menawar, tetapi Suwardi bersikukuh tak menjualnya.
“Ada yang menawarkan dua juta rupiah, tetapi saya tak cari uang lagi dari barang ini,” kata Suwardi. Ia menemukan besi tua berbentuk segitiga itu saat menjala ikan di Sungai Kuripan di belakang rumahnya pada awal 2001. Butuh empat orang untuk mengangkatnya dari sungai. Bobot besi tersebut diperkirakan lebih dari 150 kilogram.
Suwardi bukannya tak butuh uang. Namun, baginya, besi tua itu adalah sejarah berharga yang mesti dipelihara. Satu-satunya kenangan tersisa, yang membuat nama desanya, Brau—diambil dari kataberouw, dalam bahasa Belanda berarti penyesalan—dikenal hingga luar negeri dan ditulis dalam buku.
“Besi ini sisa Kapal Berouw yang dulu pernah terdampar di Sungai Kuripan,” katanya. Suwardi lalu menunjukkan posisi kapal perang Angkatan Laut Belanda tersebut, yang dulu melintang di badan Sungai Kuripan selebar 7 meter. Saat ini, tempat terdamparnya kapal itu telah berubah menjadi bendungan PDAM Way Rilau.
Lokasi terdamparnya kapal tersebut, 3,3 kilometer dari Pantai Teluk Betung, menjadi saksi kedahsyatan tsunami akibat letusan Krakatau, 27 Agustus 1883. “Sekitar pukul tujuh pagi, kami melihat gelombang sangat tinggi. Kapal Berouw terangkat melewati pohon kelapa,” demikian catatan Kapten TH Lindeman, nakhoda Kapal GG Loudon. Saat ombak tinggi menerjang, Lindeman yang dalam perjalanan dari Anyer ke Sibolga bermaksud menepikan kapal berpenumpang 111 orang itu ke Pelabuhan Teluk Betung.
Namun, kapten Kapal Berouw memperingatkan Lindeman agar jangan mendarat. Kapten Lindeman membuang sauh agak di tengah laut. Bagi pelaut, ombak di tengah laut lebih tidak berbahaya ketimbang di dekat daratan.
Berhasil menyelamatkan Kapal GG Loudon, kapten Kapal Berouw ternyata gagal menyelamatkan kapalnya. NH van Sandick, penumpang Kapal GG Loudon, menyaksikan ombak tinggi mengangkat Kapal Berouw dan memutuskan rantai sauhnya. Kapal perang tersebut diempaskan ke muara Sungai Kuripan, lalu ombak besar kembali menghantam sehingga Kapal Berouw diempaskan ke lembah nun jauh di tengah hutan.
Pada September 1883, tim dari Belanda mengunjungi Sungai Kuripan dan melaporkan kapal itu terdampar dalam kondisi utuh di ketinggian 38 meter dari permukaan laut.
Jejak yang dijual
Setelah bertahan puluhan tahun, awal 1970-an, tubuh kapal mulai rusak. Bukan oleh tsunami atau cuaca, melainkan karena dipereteli. Warga pendatang, yang kebanyakan dari Jawa, melihat kapal itu mengganggu aliran sungai lalu memereteli dan menjual bagian-bagiannya.
“Saya pernah menjual baut dan lempengan besi dari kapal itu. Beratnya 130 kilogram,” kata Suwardi. Ia juga pernah menemukan balok kayu kapal yang sudah membatu, yang kemudian diminta Pemerintah Provinsi Lampung.
Pada tahun 1979, menurut Suwardi, kapal yang telah dipereteli ini dihanyutkan banjir bandang hingga ke bawah jembatan di Desa Olok Gading. Di lokasi inilah nasib kapal perang ini tamat. “Warga berebut memereteli sisa tubuh kapal dan menjualnya,” kata Imron (56), warga Olok Gading.
Pemerintah melupakan kapal ini dan tutup mata terhadap perusakan itu. Namun, peneliti dan turis asing, terutama dari Belanda, sering berkunjung ke sana melihat sisa-sisa Kapal Berouw atau sekadar melihat bekas lokasi terdamparnya.
Setelah tubuh Kapal Berouw habis, barulah Suwardi dan warga desa yang lain mulai menyadari pentingnya Kapal Berouw dalam sejarah. Pemerintah Provinsi Lampung meratapi hilangnya Berouw. Mereka kini berancang-ancang membangun tiruan kapal. “Kami berharap replika ini akan menjadi ikon baru Lampung untuk memajukan pariwisata,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Lampung Gatot Hadi. Namun, pembuatan replika tak mudah. “Kami pelajari dulu bentuk kapalnya dulu seperti apa,” katanya.
Merawat ingatan
Kapal Berouw hanyalah satu drama kecil dibandingkan dengan kedahsyatan letusan Krakatau pada 1883. Tsunami yang terjadi setelah keluarnya awan panas dari Krakatau menghancurkan pesisir Banten dan Lampung. Setidaknya 36.417 orang tewas dan 163 desa hancur.
Jejak petaka itu dikisahkan samar-samar oleh Ratu Supiah (90), warga Caringin, Kabupaten Pandeglang, Banten. Dengan suara pelan dan terpatah-patah dia bercerita. “Waktu itu langit tiba-tiba gelap. Air laut mendadak surut,” kata Supiah, menirukan cerita kakeknya, Sheikh Asnawi. “Kakek yang curiga dengan keanehan itu mengajak tetangga dan keluarga lari ke tempat lebih tinggi. Namun, mereka tak mau pergi. Tetangganya tergiur melihat banyak ikan di pantai.”
Tiba-tiba air laut datang menggulung hingga 4 kilometer ke daratan. Asnawi memandu keluarganya lari ke Menes, Desa Muruy. Setelah petaka reda, Asnawi kembali ke kampungnya yang rata dengan tanah dan dipenuhi mayat. Nyaris semua warga desa meninggal. “Asnawi mengajarkan kepada keturunannya untuk selalu waspada jika Krakatau meletus, terutama jika laut surut karena pasti akan ada gelombang besar,” tutur Supiah.
Namun, petuah dan kisah dari Asnawi tak banyak diketahui lagi. Putra Supiah, HRA Syaukatuddin Inayah, mengatakan, generasi muda tak banyak lagi yang peduli. Bahkan, Syaukatuddin juga hanya tahu sedikit kisah Krakatau. Dia harus memanggil ibunya yang sudah sepuh itu untuk mengisahkan gelombang raksasa yang pernah menghancurkan desanya itu.
Sebagaimana Kapal Berouw habis dipereteli, ingatan warga tentang petaka yang diwariskan secara lisan oleh para tetua itu pun memudar. Pudarnya ingatan berarti hilangnya pula kewaspadaan terhadap Anak Krakatau yang tengah membangun kembali kekuatan.
Kini, Suwardi hanya bisa menyesali hilangnya Kapal Berouw, kapal “penyesalan” itu, dengan mempertahankan dua tuas yang tersisa. Suwardi dengan bagian terakhir Kapal Berouw yang dia temukan di Lembah Sungai Kuripan, Kampung Berouw, Kelurahan Negeri Olok Gading, Teluk Betung, Bandar Lampung, Kamis (11/8/2011). Di lembah sungai tersebut, ia mendapati sisa bagian dari kapal yang hanyut terbawa tsunami dari meletusnya Krakatau tahun 1883. Kampung di lembah itu kemudian diberi nama Kampung Berouw.

Sejarah Gempa Besar dan Tsunami Yang Pernah Melanda Bali Sejak 1815

Hari ini, Bali diguncang gempa berkekuatan 6,8 skala Richter dengan intensitas 4 MMI. Berdasarkan informasi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), gempa terjadi pada pukul 10.16 WIB dengan pusat gempa di 143 kilometer barat daya Nusa Dua pada kedalaman 10 km.
Setidaknya tujuh gempa susulan terjadi setelah gempa di pagi hari itu. Salah satunya adalah gempa berkekuatan 5,6 skala Richter pada pukul 14.52 Wita. Pusat gempa susulan ini terjadi di 131 km barat daya Nusa Dua dan juga pada kedalaman 10 km.
Lindu yang getarannya terasa hingga Mataram, Malang, dan Yogyakarta dengan kekuatan lebih dari 6 SR ini bukan yang pertama kali menggoyang “Pulau Dewata”. Sejarah mencatat bahwa Bali pernah diguncang gempa yang lebih dahsyat dan mengakibatkan tsunami.
Peneliti gempa dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Danny Hilman Natawijaya, mengatakan, gempa besar pernah terjadi di Bali pada tahun 1800-an. Gempa besar juga pernah terjadi pada 1979.
Berdasarkan data USGS, setidaknya ada 8 gempa besar yang pernah terjadi di Bali. Salah satu gempa paling tua yang tercatat terjadi pada 22 November 1815 dan 21 Januari 1917. Dalam sejarah gempa, kejadian tersebut dikatakan besar sebab kekuatannya mencapai 7 SR.
Gempa lain terjadi pada 14 Juli 1976, 26 Januari 1977, 21 Mei 1979, 20 Oktober 1979 dan 17 Desember 1979. Magnitude gempa tersebut bervariasi, mulai dari 5 SR sampai 6,6 SR.
Publikasi I Wayan Sengara dan rekannya dari Institut Teknologi Bandung menjelaskan bahwa beberapa gempa di Bali tergolong mematikan. Gempa pada 17 Desember 1979 di Karangasem menyebabkan 400 orang luka. Adapun gempa pada 29 Maret 1862 di Buleleng mencapai intensitas 7 MMI.
Data NOAA mengungkap bahwa ada beberapa gempa Bali yang mengakibatkan tsunami. Gempa 22 November 1815 mengakibatkan tsunami dan menewaskan 1.200 orang. Gempa 13 Mei 1857 juga mengakibatkan gejolak ombak setinggi 3,4 meter dan gempa 20 Januari 1917 mengakibatkan tsunami setinggi 2 meter.
“Secara umum, frekuensi gempa di Bali termasuk sedang. Untuk gempa di bawah 7 skala Richter, cukup banyak terjadi di bagian utara dan timur Bali. Kalau dibandingkan dengan gempa di utara Bali, gempa di selatan seperti hari ini lebih jarang,” kata Danny.
Meski demikian, Danny mengungkapkan perlunya meneliti lebih lanjut patahan-patahan yang berpotensi menyebabkan gempa di Bali. Sejauh ini pemetaan telah dilakukan dan penelitian tentang sifat serta potensi gempa yang mungkin terjadi sedang direncanakan.
Danny Hilman Natawijaya, pengamat gempa dari Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan bahwa patahan di wilayah sekitar Bali yang berpotensi mengakibatkan gempa bumi dan tsunami belum banyak diteliti.
“Pemetaan patahan sebenarnya sudah dilakukan. Tetapi, penelitian tentang sifat, sejarah patahan tersebut dan potensi gempa yang bisa ditimbulkan di masa yang akan datang belum banyak diteliti,” katanya saat dihubungi Kompas.com, Kamis (13/10/2011).
Danny mengungkapkan, ada beberapa patahan yang kini sudah diidentifikasi, salah satunya adalah Patahan Bali Utara. Sementara itu, patahan lain juga terdapat di wilayah timur Bali. Di wilayah selatan Bali terdapat zona subduksi yang juga berpotensi menimbulkan gempa.
Meski demikian, Danny mengatakan, “Banyak peristiwa gempa di Bali yang kita belum tahu pasti patahan mana yang menyebabkan. Seperti gempa besar tahun 1800an itu, kita juga belum tahu pasti. Gempa hari ini kita juga belum tahu pasti.”
Danny mengatakan, pemetaan dan penelitian tentang karakteristik patahan yang berpotensi mengakibatkan gempa di Bali harus dilakukan. “Kita sudah berencana untuk memasang GPS di utara dan selatan Bali. Jadi sebenarnya sudah ada rencana untuk meneliti ke sana,” tutur Danny.
Hari ini gempa mengguncang Bali dengan kekuatan 6,8 skala Richter dan magnitud 4 MMI. Gempa dirasakan oleh warga Mataram, Malang, Surabaya hingga Yogyakarta. Sejumlah gempa berkekuatan lebih kecil menyusul sesudahnya.
Dalam sejarah, Danny mengatakan, cukup banyak gempa berkekuatan rendah terjadi di wilayah utara dan timur Bali. Gempa dengan episentrum di wilayah selatan Bali seperti hari ini tergolong jarang terjadi. Secara umum, frekuensi terjadinya gempa besar di Bali dikatakan sedang.
Gempa besar yang pernah terjadi di Bali antara lain pada 17 Desember 1979 di wilayah Karangasem. Adapun salah satu gempa tertua yang tercatat adalah pada 29 Maret 1862. Setidaknya ada tiga gempa yang mengakibatkan tsunami, terjadi pada 12 November 1815, 13 Mei 1857, dan 21 Januari 1917.
Guncangan gempa susulan masih terus terasa mengguncang Denpasar, Bali. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) telah mencatat tujuh kali gempa susulan terjadi.
Namun, enam gempa susulan tidak terasa. Gempa susulan ketujuh terasa kuat sekitar 5 detik terjadi sekitar pukul 15.40 Wita. Menurut BKMG, gempa susulan ini berkekuatan 5,6 SR.
Guncangan yang cukup terasa membuat orang berhamburan keluar rumah. Namun, sejauh ini tidak dilaporkan terjadi kerusakan tambahan. Diperoleh laporan, gempa susulan itu juga terasa di Jember.
Informasi BMKG menyebutkan, gempa susulan terasa paling kuat di Denpasar dan Mataram. Masing-masing dengan kekuatan getaran antara III-IV Skala MMI (modified mercally intencity).